"Merah Putih” banyak murid dan guru di sekolahku heran dengan dua kata tersebut. Kami berdua adalah saingan di sekolah. Bahkan bisa disebut saingan berat. Peringkat pertama dan sanjungan para guru di sekolah. Itulah yang kami perebutkan. Bukan hanya itu hampir semua kegiatan kami hadapi dengan kompetisi dan persaingan.
Tapi, tidak ada yang menyangka. Bahwa aku dan Putih adalah saudara kembar. Wajah kami juga tidak terlalu mirip. Orang-orang hanya mengira bahwa kami adalah saudara sepupu. Sifat kami juga sangat bertolak belakang. Kami sama sekali tidak menjiwai arti dari nama kami. Aku bersifat pemalu. Hatiku mudah tersentuh bila melihat orang di sekelilingku menderita. Tapi, hal ini tidak berlaku bagi Putih. Karena aku sangat membencinya. Dan Putih lebih-lebih membenciku. Sifatku sangat berbeda dengan arti kata merah. Begitu juga dengan Putih. Dia berbeda denganku. Putih adalah anak perempuan yang tegas, keras kepala, dan sifatnya cenderung blak-blakan.
Pasti banyak orang bingung, mengapa kami saling membenci. Itu karena ayah dan ibu kami bercerai beberapa tahun yang lalu sehingga membuatku terpisah dengan Putih. Sudah sangat lama kami berpisah. Hampir sekitar 14 tahun. Sehingga membuatku lupa dengan masa kecilku bersama Putih.
Terkadang hati kecilku sedikit tergerak. Setiap kali Putih mendapat nilai 9 atau mendapat nilai di bawahku, pasti muncul memar-memar di badannya. Bila salah satu teman kami bertanya tentang memar itu. Putih pasti mengelak. terkadang tidak mau menjawab. Dia bilang bahwa itu hanya kelelahan. Semua itu tidak masuk akal. Memar itu seperti bekas pukulan yang keras dan muncul ketika nilai Putih di bawahku. Aku tidak habis pikir. Pasti itu pukulan ayah terhadap Putih. Ayah memang bersifat keras dan tegas. Aku jauh lebih beruntung daripada Putih karena aku hidup bersama ibu. Ibu yang lembut dan penyayang.
Ada suatu kejadian yang membuat aku dan teman-temanku bingung. Waktu itu prestasi Putih di sekolah sangat turun. Sebelumnya ia mendapat peringkat satu di sekolah dan dapat mengalahkan prestasiku. Tetapi sekarang, ia mendapat peringkat 9 dan anehnya saat prestasinya menurun, tidak ada memar-memar di badannya. Mungkin ini pertanda baik karena ayah sudah sadar akan kekerasannya.
Tiga hari sesudah pengambilan rapor semester I, sekolah mengadakan berbagai macam lomba. Wajah semua anak memancarkan kegembiraan dan senyum di wajah mereka. Tapi aku tidak melihat Putih. Aku berjalan menuju kantin, sekedar untuk membeli makanan yang bisa mengganjal perutku siang itu. Dalam perjalananku menuju kantin, mataku terarah pada seorang anak perempuan yang duduk di kursi kayu tua dan mulai lapuk. Wajah cantiknya mirip adik perempuanku. Begitu juga dengan rambut ikal panjang berwarna coklat. Tapi anak itu tampak lebih kurus. bahkan matanya tidak seindah mata adikku. Mata anak itu seperti bengkak karena terlalu banyak mengeluarkan air mata. Untuk menghapus rasa penasaranku, aku mendekati dia. Aku sangat terkejut. Ternyata dia memang Putih. Banyak perubahan pada dirinya sehingga membuatku heran. Aku mencoba mendekati dan duduk di sebelahnya. Putih terdiam terpaku. Aku tahu pasti ada sebuah masalah yang begitu besar sehingga membuatnya terbebani. Biasanya Putih selalu tegar dalam menghadapi masalah, kecuali satu, bila orang yang dicintainya terluka ataupun jatuh. Aku mencoba bertanya, “Putih, ada apa dengan ayah?” Walaupun aku membenci Putih, setidaknya dia adalah saudara kembarku, kami memiliki ikatan batin yang kuat.
Putih tidak menjawab pertanyaanku. Aku mencoba mengatakan beberapa kalimat lagi “Putih, jawab pertanyaanku! Semua keanehan ini tertuju pada ayah. Walaupun aku membencimu, setidaknya aku adalah kakak laki-lakimu.” Tiba-tiba Putih mengeluarkan air mata semakin banyak. Ia menjawab pertanyaanku, “ ayah sakit parah.” Ayah hanya dapat bertahan hidup paling lama satu bulan.” Sebagai seorang kakak, aku berusaha menenangkan hati adikku. Hati kecilku sangat tergerak. Sifatku yang dulu egois mulai sedikit hilang karena aku tidak tega melihat Putih bersedih hingga separah ini.
Aku memeluk tubuhnya yang kini menjadi kurus. Membelai rambut ikalnya dan sambil mengucapkan kata-kata manis. Aku berharap pelukanku dapat menghangatkan hatinya. Menghangatkan tubuhnya dari hembusan angin di taman yang dapat menusuk tulang.
Ada suatu hal yang harus kukatakan pada Putih. Aku mulai menghela napas. Hal ini sungguh berat kukatakan pada Putih, bahwa ibu sudah meninggal 3 minggu yang lalu. Kami semua mencoba merahasiakan pada Putih, sampai kondisi fisik Putih sembuh. Dalam satu bulan ini kondisi fisik Putih tidak stabil karena asma yang dideritanya. Tapi aku benar-benar terpaksa mengatakan hal ini karena Putih berhak tahu.
Putih sangat terkejut mendengar hal ini. Air mata yang dikeluarkan semakin banyak. Aku memeluk tubuhnya semakin erat,bahkan aku juga meneteskan air mata. Aku mencoba mengeluarkan sapu tangan dari saku. Lalu aku mengusap air mata adikku. Dengan penuh kasih dan cinta dan sambil berkata padanya “ sapu tangan ini tidak terbuat dari persaingan dan kompetisi. Melainkan dari rajutan cinta dan kasih” Putih melebarkan bibir manisnya dan memberikan senyuman kasih untukku.
Waktu pulang sekolah tiba. Kami berdua akan mengunjungi ayah di rumah sakit dengan mobil yang dikendarai oleh sopir. Sesampainya di rumah sakit, Putih menarik tanganku dan mengajakku untuk berjalan sedikit cepat. Ketika masuk di ruangan ayah, aku melihat ayah tampak lemas dan tidak berdaya. Aku langsung mencium tangannya dan mengucapkan rasa rindu. Ayah memintaku untuk memeluknya. Hal ini seakan mimpi bagiku. Aku bisa memeluk ayah hingga seerat dan selama ini. Kondisi ayah sangat memprihatinkan sehingga membuatku menangis. Badannya menjadi kurus kering dan wajahnya pucat pasi. Tapi ayah selalu tersenyum lebar dan tabah menghadapi penderitaannya.
Ayah berpesan pada aku dan Putih supaya kami menjauhkan rasa persaingan dalam diri kami. Ayah meminta kami untuk membangun ikatan saudara yang didasari oleh kasih sayang. Satu lagi yang terpenting, ayah meminta kami untuk bercita-cita setinggi apapun, dan tidak hidup di dalam mimpi-mimpi saja. Tapi kami harus berusaha agar mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan hingga orang di sekeliling kami tersenyum.
Setelah berpesan demikian ayah meninggalkan kami semua. Ayah kembali bersatu dengan ibu di kehidupan yang baru.
Dari peristiwa perpecahan yang kami hadapi, menyadarkan kami akan pentingnya persatuan dan persaudaraan. Sekarang kami saling melengkapi satu sama lain sehingga kami berdua mendapat peringkat pertama di sekolah. Aku dan putih sekarang ibarat jarum dan benang cinta yang digunakan untuk membuat sebuah sapu tangan kasih sayang.
( Bernadeta Erica Yuliany 8B/8 – Cahaya )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar